Minggu, 31 Januari 2021

Ketika aku memandang tentang Jawa

Bagaimana sikap dan perilaku cendikiawan dan agamawan jawa pada masa Majapahit, menjadi jawa dengan menjaga tutur bahasa dan akhlaq jawa. Adapun simbol dan seremonial, semisal selamatan pada mulanya adalah wewenang kerajaan dan para pandhita.
Karena untuk melaksanakannya ubo rampe harus pepak. Sedangkan untuk pepak, yang mampu siapa lagi kalau bukan raja dan pandhita.

Untuk cakupan masyarakat umum, menjaga kejawaan dengan nguri-nguri semisal tutur bahasa, perilaku, kesenian, dolanan.
Adalah hal yang lebih mudah dilakukan. Ada ungkapan demikian.
"Wong jowo iku, blangkone mbendol mburi, nggrundele diseleh mburi, ndak diketokne"
Ini nampaknya, sebuah olokan dari orang di luar jawa yang memandang sinis terhadap sikap luhur orang jawa. Memaknai hanya sepintas dengan paradigma kebencian.

Perhatikan dengan utuh menyeluruh, bahwa tonjolan pada blangkon bukan hanya sikap ndak enak hati, namun juga kelebihan.
Kesederhanaan orang jawa dalam menjaga etika, tidak pongah dalam menampilkan kelebihan dan kemampuan. Dibarengi dengan sikap tabah, dan nriman dalam mengolah perasaan tidak mengenakkan.

Pusaka orang Jawa berupa keris dengan bentuk meliuk, juga menjadi objek cercaan. Dikatakan orang jawa itu mbulet, tidak langsung to the point. Terlalu banyak basa-basi untuk menyampaikan satu maksud tertentu. Hal demikian, secara seksama karena upaya dalam menjaga perasaan dan fleksibelitas dalam komunikasi.

Blangkon dan Keris yang menjadi ciri khas, dijadikan framing untuk memojokkan sikap dan falsafah hidup luhur orang Jawa. Tragisnya framing semacam itu, justru ditelan mentah-mentah oleh generasi penerus sehingga menjadikan masyarakat inferior dan tertinggal jauh dari cita-cita luhur para leluhur, yakni agar terbentuk masyarakat berbudi dan harmonis.

Selasa, 26 Januari 2021

Puisi Gus Mus

Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana….

Kau ini bagaimana…
Kau bilang aku merdeka
Tapi kau memilihkan untukku segalanya

Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku berfkir
Aku berfikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana…
Kau suruh aku bergerak
Aku bergerak kau waspadai

Kau bilang jangan banyak tingkah
Aku diam saja kau tuduh aku apatis

Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku memegang prinsip
Aku memegang prinsip
Kau tuduh aku kaku

Kau ini bagaimana…
Kau suruh aku toleran
Aku toleran kau tuduh aku plin-plan

Aku harus bagaimana…
Kau suruh aku bekerja
Aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa
Tapi khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu
Langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum
Kebijaksanaanmu menyepelekannya

Aku kau suruh berdisiplin
Kau mencontohkan yang lain

Kau bilang Tuhan sangat dekat
Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat

Kau bilang kau suka damai
Kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun
Aku membangun kau merusakkannya

Aku kau suruh menabung
Aku menabung kau menghabiskannya

Kau suruh aku menggarap sawah
Sawahku kau tanami rumah-rumah

Kau bilang aku harus punya rumah
Aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi
permainan spekulasimu menjadi-jadi

Aku kau suruh bertanggungjawab
kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bis Showab

Kau ini bagaimana..
Aku kau suruh jujur
Aku jujur kau tipu aku

Kau suruh aku sabar
Aku sabar kau injak tengkukku

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku
Sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu

Kau bilang kau selalu memikirkanku
Aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana..
Kau bilang bicaralah
Aku bicara kau bilang aku ceriwis

Kau bilang kritiklah
Aku kritik kau marah

Kau bilang carikan alternatifnya
Aku kasih alternative kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau
Kau tak mau

Aku bilang terserah kita
Kau tak suka

Aku bilang terserah aku
Kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana

Jumat, 22 Januari 2021

Eksploitasi Duka Oleh Media

Memasuki awal tahun 2021, platform media sosial maupun digital kebanjiran berita bencana dunia maupun bencana akhirat. Bencana dunia, meliputi fenomena banjir, hilangnya pesawat sriwijaya air, serta tak luput berita covid-19 yang seolah tidak ada hentinya meskipun sudah ada perkembangan lebih lanjut dengan ditemukannya vaksin. Sedangkan bencana akhirat tidak lain adalah wafatnya Ulama-ulama pewaris para Nabi. Seolah berita duka merupakan komoditas menarik untuk diberitakan terus menerus, tanpa menimbang aspek psikologis yang dihasilkan. Pemberitaan duka memang perlu untuk disampaikan, namun dalam kadar seperlunya dan secukupnya. Media bertanggungjawab dalam menyampaikan berita yang objektif dan berimbang.

Marilah tengok, pola pemberitaan pada beberapa negara maju, semisal Jepang. Andaikan tragedi Hiroshima dan Nagasaki diberitakan dengan terlalu dramatis, barangkali tidak mungkin dapat kita jumpai Jepang seperti sekarang. Biar bagaimanapun, informasi yang diterima oleh khalayak secara tidak langsung akan terekam dalam memori, lantas membentuk pola sikap melankolis dramatis, meratapi sebuah kesedihan berlarut-larut. Membuat orang kesulitan untuk bergerak, karena fikiran sudah terpenuhi dengan gambaran muram. Akibatnya, tercipta pola masyarakat yang kurang bersyukur, gemar melihat orang kesusahan, sulit melihat orang berbahagia.

Memupuk motivasi dan kebahagiaan seakan menjadi hal tabu, hal demikian dianggap sebagai sikap kesombongan, dan objek bullying serta perisakan. Sedangkan mengumbar kesedihan merupakan hiburan dan kelumrahan yang dapat diterima. Kondisi ini, berpotensi menjadikan masyarakat yang kurang kreatif, dan sulit berkembang.

Lantas bagaimana menyikapi pemberitaan yang begitu dieksploitasi secara berlebihan. Merefleksi kembali pesan Sohabat Umar Ibn Khattab "redamlah keburukan dengan tidak membicarakannya". Pesan ini, sepemahaman penulis mengandung maksud untuk mengabaikan atau menanggapi pemberitaan dengan secukupnya. Ditambah dengan meningkatkan rasa Syukur kepada Allah Ta'ala terhadap segala nikmat yang telah diberikan, mengoptimalkan potensi diri, serta menyibukkan dan berfokus terhadap hal yang lebih bermanfaat.

Sabtu, 09 Januari 2021

Mengambil I’tibar dari Nyamuk

Kehadiran nyamuk memang menjengkelkan bagi manusia, suara dengungan disertai gigitan yang tidak mengenakkan dapat  mengganggu tidur menjadi tidak nyenyak. Selain itu penyakit berbahaya (seperti demam berdarah, kaki gajah, dan malaria) yang dapat berujung pada kematian bisa diderita meskipun hanya dengan satu gigitan kecil. Tak pelak keadaan ini, menjadikan nyamuk menjadi semakin dibenci oleh manusia.

Nyamuk merupakan serangga dengan sepasang sayap bersisik. Sayap tersebut, mampu mengepak 1000 kali per menit, dengan postur tubuh langsing serta mempunyai enam kaki. Nyamuk memiliki ukuran yang berbeda-beda, namun jarang sekali ukurannya lebih dari 15 mm. Dalam bahasa Inggris, nyamuk dinamakan dengan “Mosquito”, yang berasal dari bahasa Spanyol atau Portugis yang berarti lalat kecil, nama tersebut digunakan sejak tahun 1583 hingga sekarang. Di negeri Inggris nyamuk dikenal sebagai gnats. Tercatat lebih dari tiga ribu spesies nyamuk yang beterbangan di muka bumi ini, baik di tempat yang beriklim panas maupun beriklim dingin. Meskipun mampu hidup di kutub, sebagian besar nyamuk lebih suka hidup di daerah yang beriklim tropis dengan kelembaban tinggi seperti di Indonesia.[1]

Nyamuk betina dapat hidup kurang dari 3 minggu. Sedangkan nyamuk jantan biasanya hanya dapat hidup sekitar satu minggu. Umumnya telur menetas di tempat yang berisi air. Telur-telur menetas menjadi larva. Larva bernapas dengan menggunakan tabung di ujung ekornya memakan organisme mikroskopis seperti bakteri. Dengan demikian sebagian besar larva nyamuk membutuhkan air yang mengandung bahan organik. Dalam waktu kurang dari satu minggu, larva dapat tumbuh dan berkembang menjadi pupa berbentuk koma. Biasanya dalam waktu tiga hari pupa akan berubah menjadi nyamuk dewasa. Hanya nyamuk betina yang menghisap darah karena darah tersebut, nantinya digunakan sebagi sumber makanan agar dapat bertelur. Ketika nyamuk menemukan mangsa, ia akan menyuntikkan air ludahnya ke dalam tubuh mangsa. Air ludahnya mengandung zat antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah dan terkadang terkadang membawa beragam parasit berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit.[2]

Meskipun cenderung tidak disukai, faktanya nyamuk memiliki kisah heroik dalam literatur agama Islam. Kisah tersebut, terjadi ketika nyamuk membantu Nabi Ibrahim, untuk menghukum kedzaliman raja Namrud, yaitu dengan memasuki kepala sang raja melalui lubang hidung, kemudian memakan daging dan darah dalam tubuhnya secara perlahan selama beberapa hari hingga membuatnya sangat menderita. kemudian di tengah keuputus asaan sang raja menhafdapi siksaan nyamuk dari dalam tubuhnya, ia menghantam kepalanya sendiri dengan sepotong besi sampai hancur dan meninggal dunia.[3]

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Allah Ta`ala pernah menyebut hewan ini, dalam suatu ayat :

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu... (al-Baqarah : 26)

Ayat di atas turun berkenaan dengan dengan ledekan kaum munafik yang menyatakan bahwa  Allah Ta`ala maha agung, sehingga hanya menjadikan api (2;17) dan hujan (2;19), suatu elemen yang dianggap besar sebagai permisalan. Oleh karena itu, melalui ayat ini Allah menjawab bahwa dalam penciptaan makhluk sekecil nyamuk Dia tidak segan menjadikannya permisalan agar diambil hikmah dan pelajaran.[4]

Melalui ayat ini, Allah hendak menguji manusia, apakah mampu mengambil pelajaran tentang keagungan Allah dalam menciptakan segala sesuatu dengan penuh hikmah walaupun dengan pada makhluk yang dianggap kecil dan remeh. Menanggapi hal ini, tentulah, orang beriman akan mengakuinya, sebari bertasbih  kepada-Nya, sedangkan orang kafir lebih memilih untuk mengingkarinya.

Pada masa sekarang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mengerti bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh nyamuk bukanlah perkara kecil. Melalui penglihatan mikroskopis, dapat dilihat berbagai macam penyakit mematikan dibawa oleh nyamuk.[5] Untuk itu, penting menjaga lingkungan agar terhindar dari gangguan nyamuk. Terlebih di awal musim penghujan, dimana banyak nyamuk demam berdarah berkeliaran.

Allah Ta`ala tidaklah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia, melainkan terdapat hikmah yang dapat dipetik. Berikut ada beberapa pelajaran dan kemanfaatan dari nyamuk :

1.      Suara dengungan nyamuk disertai gigitan kecil, dapat menjadi “alarm” alami untuk membangunkan manusia agar bangun sejenak menghidupkan malam dengan ibadah (Qiyamul Lail)

2.      Anatomi nyamuk yang kecil namun memiliki kompleksitas fungsi, dapat mengingatkan orang beriman pada kebesaran Allah Ta`ala dalam menciptaka segala sesuatu dengan begitu terperinci.

3.      Fase kehidupan nyamuk yang terbilang singkat, dapat menjadi pelajaran berharga bahwa kehidupan di dunia teramat singkat, sehingga merugilah orang yang tidak mampu mengisi kehidupan dengan memperbanyak amal kebajikan.

4.      Kepatuhan nyamuk dalam menjalankan tugas untuk menggigit tidak tebang pilih, baik itu kaya, miskin, orang elit, maupun orang elit, oleh karena itu sepatutnya manusia mengambil pelajaran kepatuhan tersebut dalam menjalankan tugas untuk taat dan beribadah kepada Allah Ta’ala



[1]http://id.m.wikipedia.org/wiki/Nyamuk diakses pada 1 Pebruari 2019, 21.00 WIB

[2]Ibid

[3]Abu al-Fida’ Isma`il ibn Katsir al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Kairo : Dar al-Hijr, 1997),  j.1 h.345

[4]Abu Ja’far Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Tahabri, (Kairo : Dar al-Hijr, 2001), j.1, h.423

[5]Fitri Nadhifa dkk, Identifikasi Larva Nyamuk Pada Tempat Penampungan Air di Padukuhan Dero Condong, Catur, Kabupaten Sleman dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, (STIKES Guna Bangsa Yogyakarta : 2016)

Coretan Kecil Penataran Metode An-Nahdliyah

Stick Sentuhan Jiwa, termasuk salah satu ciri khas dalam pengajaran al-Qur'an dengan Metode an-Nahdliyah . Kurang lebih demi...